INDONESIA PADA MASA KEEMASAN ORDE BARU TAHUN 1975-1990

BAB I
LATAR BELAKANG

            Sejarah Indonesia pada periode ini lebih mengekspos kedigdayaan Presiden Soeharto yang berjanji dan bertekad untuk memulihkan kembali kedaulatan rakyat, baik di bidang politik maupun ekonomi yang “dianggap” dihancurkan oleh Orde Lama. Akan tetapi, janji dan tekad agar dilaksanakan yang disampaikan dalam pidato kenegaraan berisi tentang pengawasan rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat, kehidupan kepartaian dijamin, karena rakyat berhak berpendapat, berserikat dan berkumpul.           
Pada masa Orde Baru antara tahun 1975-1990 merupakan, bisa disebut dengan masa keemasan Presiden Soeharto. Kemajuan-kemajuan segnifikan dari bidang kesehatan, pendidikan dan ekonomi patut di apresiasi. Serta Program Keluarga Berencana yang merupakan program tersukses pada waktu itu. Investasi besar-besaran pun ditanam. Sehingga menghasilkan swasembada beras dan bahan pangan lainnya. Kalaupun dibandingkan dengan zaman colonial Belanda dan Orde Lama, rezim sukses memperbaiki, mengekploitasi dan mengembangkan Indonesia.
            Namun, setelah berjalannya waktu dan melihat situasi tanah air selama beberapa tahun, maka dapat disimpulkan bahwa hampir seluruh tekad dan janji tersebut tidak dilaksanakan bahkan dilanggar sendiri oleh penyenggara kekuasaan negara. Sehingga, terjadi kembali pengulangan oleh Orde Baru atas segala bentuk penyelewengan yang dilakukan oleh Orde Lama.
            Absolutisme kekuasaan penyelenggara kekuasaan negara datang kembali. Bahkan, kali ini, dengan kekuatan yang lebih dahsyat, yaitu kekuatan militer yang menjadi pendukung kekuasaan penyelenggara negara. Kedaulatan rakyat dirampas. Kemerdekaan hilang, dan kembali diganti dengan rasa takut dan was-was. Walaupun pertumbuhan ekonomi mengalami kenaikan signifikan akan tetapi, rakyat tetap miskin dan melarat.
            Rakyat menduga, bahwa kalau mengingginkan perubahan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, maka presiden, sebagai penyelenggara negara, sebagai orang yang diberi amanat dan dikontrak oleh rakyat untuk menyelenggarakan negara, harus diganti. Suatu pergantian wajar, yang periodik dan yan memberikan kemungkinan yang lebih baik. Itu adalah pernyataan awam dari kata demokrasi, dari makna kedaulatan rakyat. Tetapi, pada kenyataannya, rakyat tidak memiliki kekuatan dan kemampuan untuk mengganti presidennya. Wakil rakyat yang ada di majelis, yang menjalankan kedaulatan rakyat, juga tidak mampu mengganti presiden, karena hakekatnya mereka bukan wakil rakyat. Hanya sebagian kecil dari mereka yang mewakili rakyat, sebagian besar lainnya mewakili kekuasaan. Mereka “diangkat” oleh kekuasaan.
            Dan semakin banyak saja orang-orang, mahasiswa dan pemuda pada masa lalu, yang dipenjarakan dengan berbagai tuduhan, antara lain melakukan tindakan-tindakan subvertif, dalam berbagai peristiwa protes terhadap kebijakan pemerintah, seperti: Golput dalam pemilihan umum (1971), Taman Mini (1973); Malari (Malapetaka 15 Januari 1974); menentang modal asing dan pembangunan.
            Mereka yang tidak tunduk dan berbeda pendapat harus dinggap sebagai musuh kekuasaan, baik secara pidana maupun perdata. Ada perlakuan like and dislike yang sangat besar dan kentara oleh penguasa terhadap anggota masyarakat. Sehingga masyarakat masuk ke dalam sistem yang dimana tidak bisa membedakan antara mana yang baik dan mana yang buruk, antara salah dan benar dan sulit membedakan antara ketergantungan dan kemandirian.
            Namun, semua yang terjadi adalah cara dimana sebuah rezim menggunakan kekuasaannya untuk membuat kondisi penyelenggaraan pemerintahan berjalan dengan apa yang dikehendaki pemimpin sebuah rezim tersebut. Terlepas bagaimana rezim menggunakan tindakan represif dan tergolong tindakan pelanggaran HAM berat. Tapi, menilik tilas balik apa yang dilakukan pemerintahan Soeharto perlu mendapatkan apresiasi dari masyarakat Indonesia. Dan inilah fakta yang terjadi pada masa Orde Baru, masa Presiden Soekarno mencapai kedigdayaan dan keemasannya.

BAB II
PEMBAHASAN

A.       Sejarah Indonesia 1975-1990
A.1. Masa Keemasan Soeharto
Hampir selama dua belas tahun rezim Orde Baru, Presiden Soeharto mengecap sebuah keberhasilan yang luar biasa. Rencana pembangunan ekonomi yang didukung dengan naiknya harga minyak dunia membuat rezim semakin digdaya. Tahun-tahun ini sesungguhnya memberikan gambaran tentang kemungkinan-kemungkinan Indonesia masa depan, jika saja Orde Baru bukan pemerintah yang kejam, korup brutal dan hanya dikuasai satu orang.
Awal 1980, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat. Dari tahun 1971 hingga 1981, tingkat pertumbuhan tahunan Produksi Domestik Bruto (PDB) berkisar di angka 7,7% dan tidak pernah berada di bawah angka 5%. Hal ini tidak bisa lepas dari kondisi pendapatan minyak, yang tetap tinggi hingga tahun 1982, terutama dipicu dengan perang Irak-Iran 1979. Bahkan pada tahun 1981, Indonesia adalah penghasil gas alam cair terbanyak di dunia. Kalau pada tahun 1974 tingkat inflasi tahunan mencapai 41%, pada tahun-tahun selanjutnya dalam decade tersebut tingkat inflasi hanya berkisar antara 10 sampai 20%.
Prospek politik dari rezim Orde Baru tampaknya aman-aman saja sampai pada akhir tahun 1970. Ujian yang sesungguhnya adalah pada pemilihan umum (pemilu) pada bulan Mei 1977 yang memperebutkan kursi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Fusi (pengabungan) partai-partai politik yang dipaksakan pada tahun 1973 telah menyingkirkan berbagai hal yang mungkin akan menjadi saingan bagi partai alat pemerintah, Golkar. Namun, ancaman golput ada kemungkinan terjadi.
Yang menarik adalah Nadhatul Ulama (NU) tergabung dalam PPP, banyak kiai yang memiliki jaringan pesantren, santri dan pengikut desa, menolak tekanan pemerintah. Bahkan mereka mencurigai pemeritah dan militer, membenci birokrasi pemerintah dan condong ingin terbebas dari patronase. Namun, terdapat beberapa kiai yang mulai menyadari untungnya berkerjasama dengan pemerintah. Beberapa diantaranya telah membuat tarekat-tarekat yang tidak diakui baik oleh kaum modernis urban maupun para pemimpin NU. Kelompok-kelompok inilah yang kemudian masuk menjadi kelompok Islam pertama di tubuh Golkar. Namun, arus utama dalam NU tetap mengambil jarak terhadap pemerintah bahkan terkadang jelas-jelas mengambil kedudukan oposisi.
Pemilu 1977 didominasi oleh Golkar yang mendapatkan 62,1% suara, sementara PDI mendapat 8,6% suara. Karena di dalam tubuh PPP terdapat organisasi NU, maka mendapatkan 29,3% suara. Jadi, secara tidak langsung Golkar merebut mayoritas kursi DPR dan memegang kendali penuh atas anggota-anggota yang diangkat pemerintah dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Seperti yang telah diduga, pada tahun 1978 MPR memilih Soeharto menjadi presiden untuk ketiga kalinya.
Bersamaan dengan momentum politik yang nyata dari rezim, kritik terhadap korupsi juga berdatangan. Pada tahap ini, kritisme terhadap rezim disuarakan oleh mahsiswa dan kaum eksentrik terkemuka. September 1976, seorang mistikus dan mantan pegawai negeri, Sawito Kartowibowo, ditahan. Dia dipecat dari birokrasi karena berhubungan dengan sayap kiri PNI. Pada tahun 1976, Sawito menghujat Soeharto dan krooni korupsinya. Dia menulis sebuah dokumen berjudul “Menuju Keselamatan”, dan membujuk beberapa pemuka agama terkenal (T.B. Simatupang, ketua Dewan Gereja Indonesia) dan mantan Wakil Presiden Moh. Hatta untuk mendatanganinya. Demokrasi mahasiswa menentang Soeharto dan korupsi rezim secara rutin bisa dijumpai dalam kampus-kampus. Tingkat korupsi yang benar-benar sudah sedemikian besarnya. Meskipun dalam kebohongan tingkat tinggi sudah umum sang pelaku juga biasanya memiliki sarana untuk menutupi perbuatan dan menjadi rahasia umum.
Dalam penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) dari pemerintah tidaknya bagus, bahkan bisa dikatakan sangat buruk, apalagi yang dilakukan pada peristiwa pembantaian 1965-66 dan beberapa kasus lainnya pada masa ini. Amnesti Internasional mencatat masih ada 55.000-100.000 tahanan politik Indonesia pada tahun 1977 yang ditahan tanpa jalur pengadilan sejak usaha kudeta tahun 1965. Namun lambat laun segala tipuan segera ketahuan belangnya, sehingga pada Desember 1977, pemerintah memutuskan bahwa para tahanan yang tidak bisa diajukan ke pengadilan harus dibebaskan. Akhir 1980, semua tahanan kategori B dan C tampaknya telah dibebaskan semua. Termsuk diantaranya adalah penulis terkenal Pramoedya Ananta Toer. Walaupun telah dibebaskan tetapi Pram dan teman-teman tahanan politik mengalami pembatasan dalam pekerjaan. Bahkan mereka tidak bisa memegang peranan dalam kehidupan politik publik dan kerap menghadapi kesulitan untuk kembali ke dalam keluarga mereka dan kominitas mereka.
Situasi luar negeri Indonesia merupakan kondisi yang mendukung sikap developmentalis, represif, antikomunis dan anti islam radikal dari rezim. Kemenangan yang dicapai partai komunis di Indocina pada 1975 menimbulkan kecemasan akan ancaman sayap kiri di Asia Tenggara, sebagaimana revolusi Iran yang terjadi di tahun 1979 menimbulkan kecemasan barat terhadap radikal islam. Februari 1976, diadakan konferensi pertama kepala pemerintahan Assosiasion South East Asia Nation (ASEAN) di Bali. Dalam konferensi ini bertujuan untuk mendekatkan diri antar-pemimpin ASEAN dan salah satu langkah untuk mewujudkan koordinasi kebijakan luar negeri negara-negara anggota.
Pada tahun 1976, perlawanan Frentilin ditumpulkan menjadi perlawanan sporadis di bukit-bukit. Hingga tahun 1979, akhirnya Frentilin dikalahkan meskipun gerakan ini sudah menjadi gerakan gerilya. Sebagian besar pemimpin Frentilin tewas dan tertangkap, alat-alat komunikasinya dihancurkan, dan sebagian senjatanya hilang. Falintil (Forças Armandas de Libertação Nacional de Timor-Leste, Angkatan Bersenjata Pembebasan Negara Timor Timur) kehilangan 80% dari 4.000 prajurit angkatan bersenjatanya. Pada Juli 1976, Timor Timur menjadi provinsi Indonesia ke-27. Pemerintah kini mempunyai daerah baru untuk mereka eksploitasi, kembangkan dan kuasai. Timor Timur dibiarkan tetap terputus dari ekspos dunia luar selama bertahun-tahun demi meminimalisasi liputan tentang apa yang sesungguhnya terjadi disana. Namun. Kejadian-kejadian penindasan, pelanggaran HAM dan gerakan perlawanan terus saja dilaporkan oleh gerakan kemerdekaan Timor Timur di luar negeri pimpinan José Ramos-Horta, oleh LSM HAM dan oleh beberapa pemerintahan, terutama pemerintahan Portugal.
Bagi sebagian besar warga Indonesia, keuntungan yang ditimbulkan oleh melambungnya harga minyak pada 1970-an memberikan perbaikan nyata dalam standar hidup. Kini, pemerintah dapat memperbaiki kesejahteraan masyarakat Indonesia. Prestasinya dalam sektor pertanian, pendidikan dan kesehatan sangat mengagumkan, terutama jika dibandingkan dengan zaman kolonial Belanda dan Orde Lama dibawah pimpinan Soekarno.
Investasi besar-besaran untuk irigasi, jenis bibit baru, pupuk dan pestisida menggenjot produksi beras dan bahan pangan lainnya. Pada tahun, 1960-an, tingkat ketersediaan beras diperkirakan kurang dari 100 kg per kapita, namun pada tahun 1983 angka itu berubah menjadi 146 kg. Impor beras berkurang hingga hampir tidak ada, dan pemerintah mengklaim telah mencapai swasembada beras pada pertengahan 1980-an. Prediksi-prediksi pesimis bahwa Indonesia pasti akan mengalami krisis pangan segera tersingkir oleh optimisme. Prestasi luar biasa merupakan hasil dari kemajuan teknologi, kebijakan pemerintah, dan inisiatif serta kerja keras dari para petani-jelata Indonesia.
Di dalam sector pendidikan mengalami kemajuan yang sangat pesat, lebih dari 100.000 sekolah dibangun, terutama di daerah-daerah pedalaman, dan lebih dari 500.000 guru diperkerjakan. Pada tahun 1984, dilaporkan bahwa 97% dari anak usia 7-12 tahun sedang mengenyam bangku sekolah, dibandingkan angka 57% pada tahun 1973. Tingkat melek huruf terus meningkat. Sensus penduduk 1980 melaporkan bahwa 80,4% kaum laki-laki di atas sepuluh tahun dan 63,6% wanita sudah melek huruf. Pada sensus 1990, angka itu meningkat menjadi 89,6 dan 78,7%.
Manfaat pendidikan langsung terasa dengan semakin meningkatnya persentase melek huruf masyarakat Indonesia terutama dalam perkembangan bahasa nasional, bahasa Indonesia. Pada tahun 1971, persentase pengunaan bahasa nasional mencapai 40,8%. Dalam sensus 1980 menunjukkan kenaikan menjadi 61,4%, dan pada 1990 mencapai 80%. Pengaruh tersebut bukanlah tanpa sebab. Penggunaan bahasa nasional dalam surat kabar dan majalah serta media elektronik memberikan sumbangan yang berarti bagi kenaikan persentase penggunaan bahasa nasional di seluruh Indonesia.
Salah satu indikator kesejahteraan lainnya adalah tingkat kesehatan. Pada sensus 1971 melaporkan bahwa hanya ada satu dokter untuk melayani 20,9 ribu penduduk. Sensus 1980, menunjukkan bahwa satu tenaga dokter untuk 11,4 ribu penduduk. Tapi, tingkat ketersediaan medis ini belum mampu membuat Indonesia mampu mengejar ketertinggalannya dengan tetangga ASEAN-nya, yaitu Malaysia, Thailand dan Filipina.
Salah satu sukses terbesar Indonesia adalah program Keluarga Berencana. Pada umumnya, sterilisasi dan aborsi tidak dapat diterima secara kultural dan secara religius, sehingga program KB dilakukan terutama dengan pil kontrasepsi dan alat kontrasepsi intra-uterus. Pemerintah pun mengalokasikan sumber daya yang besar untuk program ini. Terbukti angka kelahiran setiap tahunnya turun dan tingkat pertumbuhan penduduk tahunan turun dari 2,32% pada tahun 1960-an menjadi 2,10% pada tahun 1970-an dan 1, 97% pada tahun 1980-an. Ini menjadikan program KB di Indonesia sebagai salah satu yang paling sukses di dunia, sehingga menarik perhatian dunia untuk mengikuti kesuksesan Indonesia.
Perbaikan kesejahteraan dan pendidikan yang dilakukan rezim, lebih terkonsentrasi ke wilayah Indonesia bagian Barat, terutama pulau Jawa. Sebanyak 60% penduduk Indonesia tinggal di Jawa pada tahun 1990, turun dari angka 61,9%, pada tahun 1980 dan hampir 70% pada tahun 1930.
Pembangunan ekonomi dan investasi pemerintah bidang kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan membawa perubahan signifikan bagi Indonesia, termasuk urbanisasi yang pesat. Pada tahun 1990, sebanyak 30,9% penduduk bisa dianggap sebagai kaum urban. Penduduk Jakarta mencapai 8,3 juta, sementara penduduk Bandung dan Surabaya sudah melebihi angka 2 juta, dan Semarang memiliki lebih dari 1 juta penduduk. Di daerah pedesaan, listrik, sekolah, sepeda motor dan tayangan-tayangan televise mengenai peristiwa-peristiwa nasional dan gaya hidup perkotaan mampu merubah persepsi secara radikal.
A.2. Dunia Bu Tien, Orde Baru dan Sejumlah Gagasan
John Pemberton dalam On the Subject of Java (2003: 208) menuliskan bentuk ketidak setujan masyarakat, di bulan Juni 1971, sesaat menjelang pemilihan umum Orde Baru yang pertama, ratusan penduduk dari beberapa kampung dipinggiran selatan kota Jakarta mencari bantuan dari Lembaga Bantuan Hukum untuk masalah-masalah yang tak ada kaitannya dengan pemilihan umum. Rumah-rumah mereka akan digusur dan tanah mereka, dijual kepada Yayasan Harapan Kita milik Bu Tien dengan harga jauh dibawah harga pasar. Di atas tanah tersebut kelak akan dibangun impian Ibu Negara tentang sebuah pusat kebudayaan yang disebut Taman Mini Indonesia Indah.
Bu Tien setelah mengunjungi Disneyland di Anaheim, California, Amerika Serikat, juga ke taman budaya Timland di Thailand, mendapatkan ilham untuk membangun tempat yang sama di negerinya. Namun, kata Bu Tien tentang rencana itu, pembangunan taman itu akan lebih lengkap dan lebih bagus, disesuaikan dengan kondisi dan situasi yang terjadi di Indonesia. Diatas tanah yang luasnya sekitar 400 hektare, akan dibangun 26 bangunan pameran yang menggmbarkan gaya arsitektur adat asli yang ada di negeri ini. Selain itu, ada pula pulau-pulau kecil yang mengambarkan kepulauan nusantara. Taman ini akan berisi monument-monumen kuno, bangunan-bangunan religius, hotel dengan seribu kamar beserta pusat perbelanjaan, fasilitas-fasilitas rekreasi, dan air terjun buatan, sebuah teater dan sebuah arena pergelaran terbuka. Serta akan dibangun pula sebuah balai pertemuan dengan arsitektur priyayi Jawa Tengah, yang bisa dipakai untuk upacara-upacara tradisional.
Hanya, pada awalnya rencana dan impian Bu Tien ini tak didukung oleh generasi 1966 yang dulu mendukung pemecatan Presiden Soekarno dan ikut membentuk pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan suaminya. Sebuah delegasi yang menamakan dirinya sebagai Gerakan Penghematan pada 16 Desember 1971 menyampaikan protes terhadap Proyek Miniatur kepada Badan Perncanaan Pembangunan Nasional. Proyek itu akan menghabiskan dana Rp. 10,5 miliar, atau sekitar 25 juta dolar AS pada tahun 1971 dan dikritik sebagai proyek yang memboroskan dana yang sebenarnya dapat membuat 52 industri kecil. Terhadap kritik tersebut Bu Tien menjawab, “Apa pun yang terjadi, saya tidak akan mundur sejengkal pun! Proyek ini harus dilanjutkan!”
Protes-protes semacam itu juga terus berlanjut, dan menyebar ke daerah-daerah, bahkan ada pemprotes yang mendatangi langsung kantor Yayasan Harapan Kita di Jakarta Pusat, hingga menimbulkan kemarahan Soeharto, sebagaimana ditulis dalam buku John Pemberton (2003: 210). “Terus terang saja, saya akan tindak mereka! Tidak peduli siapa mereka! Siapapun yang tidak memahami peringatan ini, terus terang akan saya tindak!” kata Soeharto.
Persoalan pro dan kontra ini, pun dilaporkan sampai harus dengan membentuk Panitia Khusus di kalangan wakil rakyat. Panitia Khusus ini diketuai oleh Martono, terdiri dari 23 orang, mewakili fraksi-fraksi yang ada pada lembaga DPR hasil Pemilu 1971. Menurut Abdul Gafur, pada awal Maret 1972 Panitia Khusus DPR sudah merampungkan tugasnya dan sebagai akhir dari seluruh proses dengar pendapat, DPR menarik tiga belas kesimpulan yang dituangkan dalam sebuah memorandum.
Praktis, aksi-aksi tunjuk rasa, protes masyarakat, tak mencuat lagi ke permukaan. Dan pembangunan proyek idealisme Bu Tien itu pun berlangsung. Proses panjang itu akhirnya mewujudkan impian Bu Tien. Pada, 20 April 1975, Bu Tien meresmikan Taman Mini Indonesia Indah. Imelda Marcos (istri presiden Filipina, Ferdinand Marcos) pun datang pada saat peresmiannya. Eyang R Ay Soemoharyomo, ibunda Bu Tien, beserta beberapa cucunya tampak hadir untuk menyaksikan karya besar putrinya. Melihat kepulauan Nusantara dalam bentuk miniatur di atas hamparan lautan buatan, di seputar itu berdiri rumah-rumah adat dari 26 provinsi pada waktu itu. Joglo yang megah. Tiang-tiang penyangga yang masing-masing mempunyai nama sesuai dengan isi cerita yang dimanifestasikan dalam bentuk seni ukir, kokoh berdiri.
Taman Mini Indonesia Indah, barangkali hanyalah satu dari sejumlah gagasan yang datang dari Bu Tien. Jika dilihat dari berbagai teks pemberitaan media, sejak awal pembangunan Orde Baru, banyak sekali karya Bu Tien yang ditingalkan. Misalnya proyek taman ria, rumah sakit, taman anggrek, museum, monumen, oranisasi-organisai dan yayasan yang langsung di bawah lindungannya. Bu Tien juga memberi dukungan atas berbagai proyek yang menumental, seperti Baitul Qur’an atau Taman Buah Mekarsari di Bogor. Serta sumbangan pemikiran dengan dana gotong royong masyarakat melalui pembangunan Perpustakaan Nasional, di Jalan Salemba Raya Jakarta. Peresmian gedung ini bertepatan dengan peringatan 23 tahun Supersemar oleh presiden Soeharto pada 11 Maret 1989.
Begitu menjadi istri presiden, terjadi loncatan yang sangat berarti bagi Bu Tien. Semula ia hanyalah seorang istri prajurit. Ia bahkan sudah begitu menikmati hidup di lingkungan Angkatan Darat. Tugas itu harus dijalankan dan tidak bisa ditampik. Sejak saat itu, setelah Ibu Fatmawati Soekarno kini Ibu Tien Soeharto yang menjadi first lady, menjadi ibu negara pada usia 44 tahun.
Ketika menyaksikan suaminya berpidato di Roma, dalam forum itu Soeharto menyumbang 100 ribu ton beras kepada sementara rakyat Afrika yang menderita kekurangan pangan, Bu Tien menggagas perlunya dibentuk yayasan untuk menghimpun dana dari masyarakat bagi kemanusiaan. Kita pun lantas mendengar Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan. Yayasan itulah yang secara politis bisa dimanfaatkan untuk melindungi kawula alit. Orang pun tak meragukan lagi ketika Bu Tien mendirikan yayasan tersebut pada 23 Agustus 1986.
Ketika digelar sebuah pertemuan perdana di Istana Bogor, untuk mewujudkan action yayasan, banyak sumbangan diberikan secara spontan untuk yayasan tersebut, yang disisihkan dari kantong pribadinya, termasuk sumbangan dari Soeharto, Umar Wirahadikusumah, para pengusaha, hartawan, dan dermawan. Sebuah siasat yang luar biasa pada masa Orde Baru dalam pengumpulan dana masyarakat. “Bencana alam dapat terjadi sewaktu-waktu, sehingga betapa perlunya persediaan dana untuk mereka yang terkena musibah” tutur Bu Tien di hadapan 200 pengusaha. Tak lam kemudian terkumpul dana Rp. 9,7 miliar dalam waktu singkat. Dan, langsung ketika itu yayasan menyerahkan sumbangan Rp. 100 juta yang diberikan Bu Tien kepada Gubenur Jawa Barat, Yogie S Memet. Karena daerah Jawa Barat sedang terkena musibah.
Kenyataan itu menunjukkan betapa besarnya yayasan memberi perlindungan kepada rakyat. Sebab, nilai sumbangan terus membengkak. Dari Rp. 9,7 miliar pada tahun 1986, setelah 14 bulan menjadi Rp. 12,7 miliar. Dari tahun ke tahun berbagai amal kebaikan bagi kemanusiaan terus mengalir dan disalurkan kepada mereka yang membutuhkan. Dalam laporannya, sampai 1992 sudah memberikan sumbangan Rp. 12 miliar lebih untuk sekitar 229 kali musibah bencana alam di 25 provinsi, termasuk musibah terowongan Mina, Saudi Arabia, korban perang teluk dan santunan korban pesawat Hercules TNI-AU yang jatuh pada 5 Oktober 1991.
Bu Tien juga memprakarsai pembentukan Yayasan Bangun Mangadeg utau sering disebut dengan Yayasan Mangadeg (1969), yang berkecimpung di bidang budaya tradisional, kemudian melakukan pembangunan dan merenovasi pemakaman pada tahun 1974. Selain itu, ada pula Yayasan Harapan Kita. Yayasan ini selain memprakasai pembangunan Taman Mini juga mendirikan Rumah Sakit Harapan Kita. Melalui yayasan-yayasan yang dikelolanya itu, banyak hal yang semula tidak ada menjadi ada. Seperti Perpustakaan Nasional, tak mungkin dapat berkembang baik bila masih tetap berada ditempat lama, di Gedung Museum Pusat.
A.3. Rezim, ABRI dan Islam
Pilar utama rezim Soeharto adalah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. ABRI terdiri atas empat angkatan: angkatan darat, laut, udara dan polisi. Dalam menjabat sebagai presiden, Soeharto menggunakan pengetahuannya tentang politik dan personel militer sepanjang masa kekuasaannya. Tapi, seiring dengan berlalunya waktu, beberapa perwira ABRI mulai tidak nyaman dengan ketundukan militer kepada rezim yang semakin hari semakin korup. Perwira berfikir reformis berusaha menyelamatkan ABRI dari noda penyimpangan dan korupsi, serta dari gangguan dan politisasi yang selama ini menjadikan militer dekat dengan istana.
Demontrasi mahasiswa menentang Soeharto dan suasana sandiwara yang mewarnai pengadilan Sawito terus berlangsung hingga memasuki tahun 1978. Keadaan ini mengiring pada kebijakan pembatasan gerak kegiatan mahasiswa di pelosok negeri, yang diterjemahkan menjadi “normalisasi” kampus. Sepanjang tahun 1978, pemimpin-pemimpin mahasiswa dan aktivis dosen ditahan, organisasi mahasiswa ditutup, dan organisasi Islam dilarang dari kegiatan kampus.
Dari tahun 1980, ABRI berusaha menduduki posisi sentral dalam pembangunan desa dengan melancarkan satu kebijakan bernama ‘ABRI masuk desa’. Ini merupakan program aksi kewarganegaraan yang bertujuan untuk mendorong pembangunan, untuk mempertahankan posisi sentral ABRI, dan untuk mendapatkan dukungan rakyat untuk militer. Kelompok-kelompok prajurit memperbaiki jembatan dan sumur, membetulkan jalan, membangun rumah-rumah ibadah dan klinik kesehatan, dan melakukan indokrinasi Pancasila. Militer secara terus-menerus menekankan satu peranan bagi dirinya sendiri yang berkonsentrasi pada isu-isu dalam negeri, karena tidak ada lagi sumber ancaman berbahaya dari luar terhdap Indonesia. Militer bisa membantu mengembangkan ekonomi, mengajarkan pendidikan kewarganegaraan dan mengukuhkan dominasinya terhadap berbagai isu nasional. Ketika penduduk local melai menunjukkan kepentingan dan aspirasi yang berbeda dengan prioritas ABRI, ABRI siap mengunakan tindakan kekerasan untuk tanpa kenal apapun menumpas para disiden. Dibalik pendekatannya, ABRI menyimpan rasa ‘lebih mulia’ atas penduduk desa yang ‘terbelakang’ dan atas kaum sipil secara umum, yang merupakan bagian tak terpisah dari kultur ABRI.
Pergantian generasi besar-besaran terjadi dalam tubuh ABRI pada awal 1980-an. Pada level atas, orang-orang seangkatan Soeharto, angkatan ’45, sudah pensiun dan digantikan oleh perwira yang lebih muda. Hal ini disimbolkan terutama dengan tindakan Soeharto menunjuk Jenderal L.B. (Benny) Murdani sebagai panglima ABRI pada tahun 1983. Murdani merupakan orang jawa beragama Katolik, yang latar belakang etnis dan pengalaman kariernya telah merebut kepercayaan Soeharto dan yang agamanya membuat Murdani tidak akan pernah berfikir untuk merebut posisi presiden. Di bawah pengaturan baru yang diperkenalkan Soeharto, Menteri Pertahanan dan Keamanan tidak lagi merupakan panglima ABRI. Posisi panglima kini terpisah dari departemen tersebut dan bertanggung jawab langsung kepada presiden.
Tahun 1980-an juga menyaksikan munculnya seorang pemain baru, yang masih sangat muda dalam percaturan perpolitikan ABRI yaitu seorang menantu Soeharto, Letnan Jenderal Prabowo Subianto. Prabowo merupakan putra dai ekonom terkemuka sekaligus mantas politikus PSI, Sumitro Djojohadikusumo, dan ia menikah dengan putri Soeharto, Siti Hediati Hariyadi. Prabowo merupakan orang yang brilian, berpendidikan tinggi dan merupakan pria dengan ambisi yang tak terbendung. Pada tahun 1983, dia dipilih menjadi wakil panglima pasukan khusus angkatan darat. Ketika Prabowo meniti jalan menanjaknya melalui militer, dia mendapatkan pengagum dan juga musuh bebuyutan. Beberapa kalangan mengira telah muncul calon pengganti Soeharto, sedangkan kalangan lain menilai Prabowo merupakan lambing puncak dari terkotorinya ABRI oleh favoritisme Presiden.
Pada tahun 1983, pemerintah memutuskan bahwa semua organisasi harus menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas ideologis. Satu rancangan undang-undang diajukan ke DPR yang kemudian disahkan pada bulan Februari 1985. Ini secara langsung dan memang disengaja, menantang organisasi-organisasi Islam, yang dengan ini diharuskan menjadikan sesuatu selain Islam sebagai satu-satunya dasar. Organisasi Islam yang secara politik paling signifikan adalah NU. Banyak tokoh senior NU yang bersikap skeptic terhadap kemungkinan aktifitas partai politik dan keterlibatan dalam PPP akan mampu memberikan manfaat bagi NU dan konstituennya.
Satu generasi kepemimpinan baru mulai muncul dalam NU, yang dipimpin oleh Abdurrahman Wahid (GusDur). Gusdur adalah puta dari mantan pemimpin NU, Wachid Hasyim dan cucu dari pendiri NU Hasjim Asjari, sehingga silsilahnya sebagai pemimpin NU tak terbantahkan. Pemikiran, ceramah dan tulisan Gusdur menekankan Islam sebagai agama yang didasarkan pada rasionalitas dengan komitmen kepada toleransi dan pluralisme social. Dia juga memiliki pemahaman mendalam terhadap pemikiran mistis yang begitu kuat menghujam dalam NU. Dalam krisis yang dihadapi dalam NU sejak kampanye Pemilu 1982, Abdurrahman muncul sebagai tokoh kunci.
Pada bulan Desember 1983, suatu rapat nasional yang dihadiri ulama-ulama senior NU di Situbondo, Jawa Timur, memutuskan bahwa NU harus menarik diri dari PPP, meninggalkan total partai politik dan menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Langkah inilah yang menimbulkan perpecahan di dalam tubuh NU.
Jumlah jamaah masjid meningkat dan masjid serta rumah-rumah ibadah dibangun pesat. Di Jawa Timur, terdapat 15.600 masjid pada tahun 1973 dan menjadi 25.700 pada tahun 1990. Peningkatannya mencapai 65%, sedangkan tingkat pertumbuhan penduduk sekitar 50% sepanjang periode yang sama. Bentuk religiusitas yang lain juga mencul. Pada periode yang sama, gereja-gereja Katolik di Jawa Timur meningkat dari 206 menjadi 324 atau meningkat 57%. Sedangkan gereja dan balai pertemuan Protestan meningkat dari 1.200 pada tahun 1973 menjadi 2.300 pada tahun 1984.
Sensus penduduk 1990 mencatat ada 156,3 juta kaum muslimin di Indonesia atau 87,2% dari jumlah penduduk dan merupakan populasi kaum muslimin terbesar di dunia. Persentase tersebut cukup stabil, karena pada tahun 1980 persentasenya adalah 87,1%. Umat Kristen berjumlah 17,2 juta atau 9,6% dari jumlah penduduk.
Organisasi Modernis nonpolitik Muhammadiyah menerima pancasia dalam kongres 1985. Dalam menerima Pancasila sebagai asas tunggalnya, Muhammadiyah juga mengukuhkan identitasnya sebagai satu gerakan keyakinan Islam yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Sunah. Tetapi, Muhammadiyah tidak sesukses NU dalam mencapai tujuannya bekerja sama dengan pemerintah di tahun-tahun berikutnya. Modernisme ini lebih skripturalisme dan cenderung kurang fleksibel dibandingkan Islam tradisional NU, sehingga para pemimpin nasional mewaspadai aliran modernis ini.
Beberapa pemimpin dan kelompok Islam menunjukan respons kurang baik dibandingkan NU dan Muhammadiyah terhadap isu Pancasila dan isu-isu yang lainnya, termasuk dua orang yang dituduh menjadi tokoh utama teroris Islam: Abdullah Sungkur (1937-1999) dan Abu Bakar Ba’asyir. Keduanya merupakan kelahiran Jawa keturunan Arab. Tahun 1972 meraka, mendirikan pesantren Al Mukmin yang fundamentalis di Desa Ngeruki dekat dengan Surakarta. Diyakini mereka berdua digembleng dalam Darul Islam pada 1976. Dua tahun kemudian, mereka ditahan dengan tuduhan berbuat makar dan berhubungan dengan Komando Jihad. Mereka dituduh menghasut orang lain menolak Pancasila sebagai asas tunggal dan melarang santri-santri mereka menghormati bendera nasional dengan alasan itu berarti syirik. Berbagai upaya memberi mereka masa bebas pada pertengahan tahun 1980-an. Oleh karena itu, tahun 1985 mereka melarikan diri ke Johor, Malaysia dan menetap di sana sampai 1999.
A.4. Peristiwa Tanjung Priok
Pada tanggal 12 September 1984, terjadi kerusuhan terparah sejak peristiwa Malari satu decade sebelumnya, yaitu ketika terjadi insiden di Tanjung Priok, distrik pelabuhan di Jakarta. Terjadi demontrasi massa kalangan masjid yang mengumandangkan slogan-slogan anti pemerintah  dan anticukong, menolak Pancasila sebagai asas tunggal, menuduh prajurit ABRI telah mengotori masjid dan memekikkan kalimat “Allahu Akbar”. ABRI merentetkan tembakan kepada massa yang bergerak maju dan membunuh setidaknya 28 orang dan mungkin beberapa ratus. Karena insiden Tanjung Priok ini, pamflet antipemerintah tersebar sepanjang Jawa, menyerukan kaum muslimin untuk membela agama mereka. Pengeboman dan pembakaran terjadi di Jakarta. Bank Sentral Asia milik Liem Sioe Liong merupakan sasaran utama. Kuil peribadatan Budha Kuno, Candi Borobudur dibom pada bulan Januari 1985. Demi memenangkan sentiment-sentimen Islam, panglima Katolik ABRI, Murdani, mengunjungi masjid dan madrasah-madrasah untuk memastikan kaum muslimin bahwa mereka masih memegang posisi sentral dalam Indonesia.
Pemerintah dengan sigap menangani pihak-pihak yang dianggapnya bertanggung jawab atas kerusuhan ini. Sekitar 30 orang dipenjarakan sampai 3 tahun karena insiden Tanjung Priok. Mereka diculik, disiksa dan bahkan dianiyaya. Salah satu korbannya bernama Irta yang tertembak kakinya dalam insiden ini.
Irta menjalani perawatan di RSPAD selama dua bulan. Selama perawatan dia dan korban lain di jaga ketat oleh tentara bersenjata. Suasana rumah sakit sangat menyeramkan. Suatu hari Panglima ABRI, Leonardus Benyamin “Benny” Moerdani dan Panglima Daerah Militer V Jakarta Raya Mayor Jenderal Try Soetrisno mendatangi para korban yang dirawat. Kedua pemimpin tentara itu dijaga ketat oleh para pengawal. Bahkan ketika Irta menyentuh ikat pinggangnya sendiri beberapa pengawal langsung mendekat dan memegangi perutnya. Mungkin mereka khawatir Irta akan menggunakan ikat pinggangnya untuk mencelakai pemimipin ABRI itu.
Hampir setiap hari Irta dan korban lain diintrogasi oleh tentara. Pertanyaan selalu seputar rencana mendirikan negara Islam. Para tentara tak segan menampar pasien yang tengah dirawat bila tidak mengakui terlibat pendirian negara Islam. “Saya agak gentar juga waktu itu lihat pistol kecil mereka” kata Irta.
Dua bulan sudah Irta terbaring di RSAD. Irta dan tujuh pasien lainnya diantar keluar menyusuri koridor rumah sakit. Baru beberapa langkah mereka menyusuri koridor itu terdengar teriakan seorang polisi militer. Langkah mereka pun terhenti. Irta melihat seorang polisi militer menenteng senapan. Anggota PM itu rupanya tidak sendirian. Para polisi militer itu langsung menutup mata Irta dan teman-temannya serta membawa mereka naik ke mobil yang segera melaju ke markas CPM Guntur.
Sesampainya di markas CPM Guntur, Irta melihat banyak orang dengan wajah lebem bekas pukulan. Pikirannya pun sudah dipenuhi dengan bayangan tentang penyiksaan yang mengerikan. Dia dan tujuh rekannya diberi nomer tahanan yang ditulis dengan kapur. Dan mereka dimasukkan kedalam sel bersama orang-orang yang lebam tadi.
Sel berukuran 5x6 meter itu dihuni 30 orang. Sel itu dipagari terali besi dan tembok. Udaranya lembab. Wajah semua tahanan lebam-lebam akibat siksaan. Bagi orang yang habis dipukuli memasuki sel itu semakin sakit. Jika malam tiba sel itu tidak terlalu terang karena hanya mendapat sinar dari lampu yang redup. Lantainya kotor dan tidak ada alas untuk tidur. Kamar mandi pun tidak ada.
Umumnya penyiksaan dilakukan pada malam hari. Akhirnya Irta merasakan introgasi yang “dibumbui” penyiksaan. Selama intograsi Irta ditanyai soal kasus Tanjung Priok. Dia dipaksa mengakui segala pertanyaan yang dilontarkan. Namun, Irta selalu menyangkal tuduhan itu karena mersa tak membawa senjata apapun saat itu. Bukan hanya tendangan dan pukulan yang mendera para tahanan di Guntur. Mereka juga disertum listrik. Banyak orang berteriak kesakitan karena disetrum. Orang-orang yang tidak luka tembak umumnya disiksa dengan cara seperti ini.
Lain Irta lain pula dengan tahanan perempuan yang disiksa di Guntur berkaitan dengan peristiwa Tanjung Priok. Perempuan tersebut bernama Aminatun. Dan di Guntur tidak ada perlakuan istimewa terhadap perempuan. Aminatun pun mengalami penyiksaan sama dengan tahanan laki-laki. Tiap malam ia harus merasakan sakitnya pukulan dan tendangan saat menjalani introgasi. “Ibu Aminatun adalah satu-satunya perempuan waktu itu” kata Irta.
Begitu tiba di Guntur, Aminatun langsung ditelanjangi oleh tentara anggota Korps Wanita Angkatan  Darat (Kowad). Aminatun tidak tahu tujuan penelanjangan itu karena tidak ada hubungannya dengan materi pertanyaan. Bagi dia, tindakan itu merendahkan martabatnya sebagai muslimah. “Kenapa saya harus telanjang ketika diperiksa ? Semua yang ditangkap juga disuruh telanjang. Akan tetapi waktu itu saya adalah satu-satunya perempuan,” katanya.
Hal lain yang membuat jengkel Aminatun adalah saat tentara menggunting jilbab yang dikenakannya. Tindakan itu bagi dia merupakan pelecehan terhadap keyakinannya sebagai muslimah. Setelah menggunting jilbab Aminatun, anggota Kowad pun memberikan “bonus” tamparan.
Aminatun ditahan di Guntur selama 45 hari. Akibat dari siksaan setiap malam, perempuan ini mengalami gangguan jiwa. Aminatun harus dirawat di Rumah Sakit Islam Pondok Gede selama 10 hari setelah dibebaskan dari Guntur. Namun, perawatan di rumah sakit jiwa tidak bisa menolongnya. Aminatun stress berat selama berbulan-bulan hingga harus dipasung karena sering meronta-ronta. Bahkan, guncangan jiwa itu masih dirasakan Aminatun sampai sekarang. Kadang-kadang perempuan yang kini tinggal di Solo itu pusing berkepanjangan tanpa sebab.
A.5. Proyek Kegirgantaraan Indonesia
Presiden Soeharto memlilki hasrat bahwa negara Indonesia harus mempunyai sebuah industri teknologi yang bisa diakui oleh dunia. Soeharto pun secara langsung mengundang para ahli dari berbagai bidang yang sedang belajar dan bekerja di luar negeri untuk bisa merealisasikan mimpi tersebut. Salah satunya adalah Bacharuddin Jusuf Habibie, yang pada waktu itu sedang mencari pekerjaan setelah lulus S3 dari Fakultas Bagian Mesin Rheinisch Westfählische Technische Hochschule (RWTH).
Pada tanggal 25 Januari 1974, Habibie meninggalkan kota Frankfurt, Ainun, Ilham dan Thareq dengan menggunakan pesawat Lufthansa Boeing 747 menuju Jakarta lewat Singapura, padahal pada waktu itu Jakarta sedang mencekam karena terjadi kerusuhan Malari. “Saya sadar bahwa hanya 10 hari yang lalu, tanggal 15 Januari peristiwa demontrasi mahasiswa dan kerusuhan social baru saja terjadi di Jakarta,” kata Habibie dalam buku autobiografinya.
Sesampainya di Indonesia, B. J. Habibie langsung disambut oleh Ibundanya, Tuti Marini Habibie bersama mertuanya Ibu Sadarmi Besari dan Bapak R. Mohamad Besari beserta seluruh anggota keluarga. Mereka memperoleh informasi bahwa Habibie akan datang ke Indonesia dan menyampaikan Senin tanggal 28 Bapak Dr. Ibnu Sutowo berkenan menerima pada pukul 10.00 di Jalan Perwira, Kantor Pertamina Pusat.
Senin, 28 Januari 1974, Habibie memenuhi undangan Ibnu Sutowo di Jalan Perwira. “Saya memasuki ruang kerja yang besar dan indah dan berhadapan dengan Pak Ibnu yang ramah dan memberi senyuman yang menyenangkan. Sambil senyum beliau memberi salam kepada saya dengan mengatakan, selamat datang di Indonesia, tugas saya selesai. Dr. Habibie nanti malam pukul 19.30 akan diterima Presiden Soeharto di kediamannya di Jalan Cendana nomor 8,” kenang Habibie.
Sekitar pukul 19.00, Habibie sudah berada di Jalan Cendana 8, “di sana saya dipersilahkan masuk ke kamar tunggu para tamu yang dijadwalkan akan diterima Presiden Soeharto. Saya dipersilahkan mengisi buku tamu dan di meja terhidang minuman teh panas,” kata Habibie.
Akhirnya, Habibie bertemu dengan Soeharto, yang pada waktu itu berpakaian rapi dan sambil mengulurkan tangan berkata “Selamat datang di Indonesia, Apa kabar dengan Tante (Ibu Kandung Habibie) dan bagaimana keadaan keluargamu? Berapa lama rencananya akan berada di Indonesia? Silahkan duduk!,”. Setelah Habibie menjawab semua pertanyaan dan menjelaskan hasil pertemuan dengan Pak Ibnu Suwoto, beliau memberanikan diri untuk bertanya ”Apa yang Pak Harto mau sampaikan kepada saya?,”.
Sambil mempersilahkan meminum teh, Soeharto menjelaskan hasratnya, “Kita harus pandai belajar dari keberhasilan bangsa lain. Lihat Jepang suatu bangsa yang sudah maju, walaupun tidak memiliki kekayaan alam yang dibutuhkan, terus berkembang. Lihat tetangga kita Singapura, tidak memiliki sumber daya alam pula, bahkan air saja harus diimpor tetapi proses kesejahteraan terus berkembang dan maju. Semuanya mengandalkan pada potensi sumber daya manusia yang terampil. Apakah Jepang atau Singapura sama saja! Bagaimana dengan Indonesia. Sumber daya alam Indonesia jikalau dibandingkan dengan Jepang dan Singapura berlimpah. Apakah kita harus terus mengandalkan pada sumber daya Alam? Berapa lamanya? Suatu ketika semuanya akan habis? Lalu bagaimana selanjutnya?”
“Bagaimana pendapat Dr. Habibie !”
“Memang di negara maju manapun termasuk yang memiliki sumber daya alam, adalah sumber daya manusia yang terampil dan terbarukan. Kita harus mengembangkan industri manufaktur dari tekstil sampai apa yang saja yang memiliki pasar domestik nasional dan domestik regional dan kelak pasar internasional.”
Tiba-tiba mata Soeharto membesar dan tersenyum mengatakan “Oleh karena itu, saya tugaskan Dr. Ibnu Sutowo untuk memanggil Dr. Habibie. Saya minta agar dalam waktu sesingkat-singkatnya untuk bersama kita semuanya mempersiapkan bangsa Indonesia tinggal landas memasuki abad yang akan datang dua puluh lima tahun lagi,”
“Mengapa saya Pak. Saya hanya seorang ahi konstruksi pesawat terbang. Masih banyak orang yang lebih pantas dan lebih pintar dari saya untuk diberi tugas yang sangat besar dan mulia itu?,”.
“Silahkan Dr. Habibie membuat pesawat terbang yang berguna untuk pengangkutan militer dan sipil,”.
Inilah cikal bakal terbentuknya Pabrik Kedirgantaraan Indonesia melalui tangan dingin dan keuletan Habibie. Banyak hambatan untuk mewujudkan cita-cita tersebut, tetapi dengan semangat yang tak kenal menyerah, akhirnya Indonesia memiliki pesawat sendiri.

BAB III
KESIMPULAN

Pada periode 1975-1990, rezim Soeharto mengalami kemajuan-kemajuan yang sangat signifikan terutama dalam bidang kesehatan, pendidikan dan ekonomi patut diapresiasi. Orde Baru pun melahirkan beberapa hasil yang nyata terutama dari sang istri, Ibu Tien Soeharto dengan gagasan, ide dan keramahannya membuat Taman Mini Indonesia Indah, berbagai monumen, taman ria, sekolah-sekolah dan rumah sakit. Serta yayasan-yayasan yang langsung di bawah lindungan Bu Tien, yang bergerak di berbagai bidang terutama bidang kemanusiaan dan kesenian tradisional.
Dan atas hasrat Soeharto yang menginginkan Indonesia dapat mencontoh bangsa-bangsa lain yang dapat maju dengan keterbatasan sumber daya alam yang dimiliki, membuat Soeharto memanggil seorang ahli kontruksi pesawat terbang untuk mempercepat alih teknologi dan membuat sumber daya manusia yang terampil, sehingga bursa tenaga kerja semakin kompetitif.
Dalam menjalankan hasrat dan keinginan istrinya tersebut, rezim pun tanpa kelihatan tanpa cela dalam menjalankannya. Tetapi pada kenyataannya, rezim menggunakan cara-cara represif dalam menjalankan roda pemerintahan. Banyak rakyat-rakyat yang tak bersalah ikut tercebur arus kebegisan rezim. Terutama agama Islam yang terdiskriminasi oleh tindakan yang merupakan tindakan pelanggan HAM berat. Mereka disiksa dan bahkan dibunuh layaknya binatang.
Namun, apapun yang terjadi itulah kenyataan yang terjadi dan harus disikapi dengan bijak oleh masyarakat Indonesia, lebih-lebih pada masa reformasi seperti saat ini.

DAFTAR PUSTAKA

Artha, Arwan Tuti. (2007), Bu Tien Wangsit Keprabon Soeharto, Yogyakarta: Galang Press
Habibie, Buchruddin Jusuf. (2010), Habibie dan Ainun, Jakarta: THC Mandiri
Margiyono, Kurniawan Tri Yunanto. (2007), Neraka Rezim Soeharto: Misteri Tempat Penyiksaan Orde Baru, Jakarta: Spasi & VHR Book
Pamungkas, Sri-Bintang. (2001), Dari Orde Baru Ke Indonesia Baru lewat Reformasi Total, Jakarta: Erlangga
Ricklefs, M. C. (2008), Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta

Posting Lebih Baru Posting Lama

Leave a Reply

Diberdayakan oleh Blogger.