PERBANDINGAN KINERJA BIROKRASI INDONESIA PADA MASA ORDE BARU DENGAN MASA REFORMASI

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Birokrasi adalah sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan. Fenomena birokrasi selalu ada bersama kita dalam kehidupan kita sehari-hari dan setiap orang seringkali mengeluhkan cara berfungsinya birokrasi sehingga pada akhirnya orang akan mengambil kesimpulan bahwa birokrasi tidak ada manfaatnya karena banyak disalahgunakan oleh pejabat pemerintah (birokratisme) yang merugikan masyarakat.

Birokrasi bukanlah suatu fenomena yang baru bagi kita karena sebenarnya telah ada dalam bentuknya yang sederhana sejak lama. Namun demikian, kecenderungan mengenai konsep dan praktek birokrasi telah mengalami perubahan yang berarti sejak seratus tahun terakhir ini. Dalam masyarakat yang modern, birokrasi telah menjadi suatu organisasi atau institusi yang penting. Pada masa sebelumnya ukuran negara pada umumnya sangat kecil, namun pada masa kini negara-negara modern memiliki luas wilayah, ruang lingkup organisasi, dan administrasi yang cukup besar dengan berjuta-juta penduduk.
Kajian birokrasi sangat penting dipelajari, karena secara umum dipahami bahwa salah satu institusi atau lembaga, yang paling penting sebagai personifikasi negara adalah pemerintah, sedangkan personifikasi pemerintah itu sendiri adalah perangkat birokrasinya (birokrat). Membicarakan tentang birokrasi tentunya sangat penting bagi kita untuk mengetahui bagaimana sejarah birokrasi. Birokrasi memiliki asal kata dari Burcau, digunakan pada awal abad ke 13 di Eropa Barat bukan hanya untuk menunjuk pada meja tulis saja, akan tetapi lebih pada kantor, semisal tempat kerja dimana pegawai bekerja. Makna asli dari birokrasi berasal dari Prancis yang artinya pelapis meja. Bentuk birokrasi paling awal terdiri dari tingkatan kasta rohaniawan/tokoh agama. Negara memformulasikan,memaksakan dan menegakkan peraturan dan memungut pajak, memberikan kenaikan kepada sekelompok pegawai yang bertindak untuk menyelenggarakan fungsi tersebut.
Sangat menarik membicarakan tentang birokrasi, karena dalam realita kehidupan birokrasi terkesan negatif dan menyulitkan dalam melayani masyarakat, padahal para pegawai birokrasi itu dibayar dari uang masyarakat. Dan terkadang wewenang yang diberikan kepada pegawai dari birokrasi disalahgunakan.
Sejak rezim orde baru, orientasi pada penguasa masih sangat kuat dalam kehidupan birokrasi publik. Nilai-nilai dan simbol-simbol yang digunakan dalam birorasi masih amat kuat menunjukan bagaimana birokrasi publik dan para pejabatnya mempersepsikan dirinya lebih sebagai penguasa daripada sebagai abdi dan pelayan masyarakat. Istilah  penguasa tunggal sebagai sebutan untuk bupati dan gubernur pada zaman Orde Baru jelas menunjukan bagaimana birokrasi publik dan para pejabatnya pada waktu itu memerankan dirinya.
Menarik perhatian jika kinerja pelayanan birokrasi pemerintah pada masa reformasi apakah terjadi perubahan atau tidak banyak mengalami perubahan secara signifikan dibanding zaman orde baru, hal ini bisa kita telusuri dari tingkat akuntabilitas, responsivitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Ide reformasi yang menginginkan agar birokrasi lebih bersifat transparan, terbuka, dan jujur. Birokrasi masih tetap belum terlihat jelas atau secara nyata mengembangkan komitmen untuk mengembangkan iklim dialog dan membangun kepercayaan kepada publik. Belum terbentuknya kepercayaan dari publik terhadap birokrasi menyebabkan hubungan birokrasi dengan publik sering kali masih belum komunikatif. Nampaknya kinerja birokrasi sekarang ini perlu disorot secara serius, khususnya menyorot kinerja aparat birokrasinya.

B.     RUMUSAN MASALAH

1.        Bagaimana sistem politik yang digunakan pada masa Orde Baru dan masa reformasi ?
2.        Bagaimana perbandingan kinerja birokrasi pada masa Orde Baru dan masa reformasi ?
  
BAB II
PEMBAHASAN

A.    LANDASAN TEORI
A.1. PENGERTIAN BIROKRASI
Birokrasi berasal dari kata bureaucracy (bahasa inggris bureau + cracy), diartikan sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk piramida, dimana lebih banyak orang berada ditingkat bawah dari pada tingkat atas, biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya administratif maupun militer. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia arti dari Birokrasi adalah sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih oleh rakyat dan cara pemerintahan yang sangat dikuasai oleh pegawai.( id.wikipedia.org)
Menurut dari para pakar birokrasi adalah sebagai berikut,
a.      Bintoro Tjokroamidjojo
Menurut Bintoro Tjokroamidjojo (1984) “Birokrasi dimaksudkan untuk mengorganisir secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh banyak orang”.Dengan demikian sebenarnya tujuan dari adanya birokrasi adalah agar pekerjaan dapat diselesaikan dengan cepat dan terorganisir. Bagaimana suatu pekerjaan yang banyak jumlahnya harus diselesaikan oleh banyak orang sehingga tidak terjadi tumpang tindih di dalam penyelesaiannya, itulah yang sebenarnya menjadi tugas dari birokrasi. (www.scribd.com/Definisi-Birokrasi)
b.       Riant Nugroho Dwijowijoto
Dengan mengutip Blau dan Meyer, Dwijowijoto (2004) menjelaskan bahwa “Birokrasi adalah suatu lembaga yang sangat kuat dengan kemampuan untuk meningkatkan kapasitas-kapasitas potensial terhadap hal-hal yang baik maupun buruk dalam keberadaannya sebagai instrumen administrasi rasional yang netral pada skala yang besar”. Selanjutnya dikemukakan bahwa “Didalam masyarakat modern, dimana terdapat begitu banyak urusan yang terus-menerus dan ajeg, hanya organisasi birokrasi yang mampu menjawabnya. Birokrasi dalam praktek dijabarkansebagai pegawai negeri sipil”. (www.scribd.com/Definisi-Birokrasi)
c.       Blau dan Page
Blau dan Page (1956) mengemukakan “Birokrasi sebagai tipe dari suatu organisasi yangdimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan cara mengkoordinir secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang”. Jadi menurut Blau dan Page, birokrasi justru untuk melaksanakan prinsip-prinsip organisasi yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi administratif, meskipun kadangkala di dalam pelaksanaannya birokratisasi seringkali mengakibatkan adanya ketidakefisienan.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, dapat dirumuskan bahwa birokrasi adalah:
1.      Suatu prosedur yang harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku agar tujuan organisasi dapat tercapai secara efektif dan efisien;
2.      Keseluruhan aparat pemerintah, baik sipil maupun militer yang bertugas membantu pemerintah dan menerima gaji dari pemerintah karena statusnya itu. (www.scribd.com/Definisi-Birokrasi)

A.2. KINERJA BIROKRASI YANG BAIK

Dalam sistem politik yang dipaparkan oleh Gabriel Almond terdapat peran yang harus dibebankan kepada birokrasi sebagai unit untuk melakukan kegiatan-kegiatan vital di dalam sistem ini. Dalam era modern seperti saat ini isu birokrasi menjadi hal yang paling umum dibicarakan termasuk negara Indonesia. Isu paling hangat dibicarakan adalah isu tentang transparansi dan inefiensi. Akan tetapi, masih terdapat kinerja-kinerja yang birokrasi selain transparansi dan inefisiensi. Seyogyanya kinerja yang baik dilakukan oleh birokrasi adalah melakukan transparansi, efisiensi dalam menggunakan anggaran termasuk melakukan akuntabilisasi terhadap masyarakat dan seiring dengan bergulirnya demokratisasi, birokrasi dituntut untuk bisa tampil sebagai organisasi pelayanan publik yang transparan. Good governance menjadi sebuah sebuah imperatif dalam proses menuju negara demokrasi dan peran birikrasi di sini harus transparan, akuntabel dan membuka partisipasi publik tanpa melihat status, suku, ras, agama dan jabatan sekalipun. Sisi profesionalisme menjadi titik berat dalam menjalani proses good governance disini.
Sumber Daya Manusia yang baik menjadi hal yang terpenting untuk mewujudkan good governance yang berkualitas. Pada akhirnya, masyarakat dan pihak-pihak swasta dapat menilai kinerja birokrasi suatu negara. Implementasi dari keberhasilan dari kinerja yang baik dari birokrasi adalah keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia seperti yang tertera didalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Sehingga, peran serta antara pemerintah, masyarakat dan pihak swasta akan terjalin dengan harmonis tanpa adanya intervensi dari pihak manapun yang ingin mempengaruhi bahkan mengkudeta rezim yang berkuasa.

A.3. POSISI BIROKRASI DI SISTEM POLITIK GABRIEL ALMOND

Di dalam sistem politik yang dibuat oleh Gabriel Almond, posisi Birokrasi terdapat diantara “Penerapan Kebijakan” dan “Recruitmen Politik”. Birokrasi berperan penting dalam percaturan perpolitikan suatu negara. Fungsi birokrasi tidak hanya sebagai memberikan input, berupa saran, informasi, visi, misi dan langkah profesionalisme untuk mempengaruhi sebuah kebijakan tetapi juga mengartikulasi sebuah aspirasi dan menjabarkan perundang-undangan.

Gambar 1. Bagan Sistem Politik Menurut Gabriel Almond
Menurut Almond, Birokrasi akan berjalan dengan lancar apabila di dalam recruitmen politik, sosialisasi politik dan komunikasi politik berjalan dengan baik. Misalnya dalam recruitmen politik yang buruk maka sistem yang terjadi di dalam internal sebuah birokrasi akan menjadi buruk bahkan cenderung terjadi penyelewengan. Hal itu pun berlaku dengan sosialisasi politik dan komunikasi politik. Karena secara fundamental birokrasi layaknya organ vital di dalam sistem ini yang sangat berkaitan erat dengan unit-unit lain semisal eksekutif, yudikatif dan partai politik. Dari pernyataan tersebut menjadi bukti sahih bahwa birokrasi merupakan pemain utama atau pemeran utama atau inti dalam sistem politik yang dibuat oleh Gabriel Almond. Seperti halnya fungsi jantung yang memompa darah, birokrasi yang digambarkan oleh Gabriel Almond di dalam sistem politiknya, juga layaknya jantung. Akan tetapi, birokrasi adalah sebuah unit yang terdapat di dalam sebuah sistem politik yang mengatur hajat hidup orang banyak (masyarakat) di suatu wilayah atau daerah atau negara. Walaupun tanpa mengkesampingkan unit-unit lain di dalam sistem yang di buat oleh Gabrial Almond. Untuk dapat melihat gambaran atau bayangan sistem yang dibuat oleh Gabriel Almond.

B.     PEMBAHASAN
B.1. SISTEM POLITIK MASA ORDE BARU
Di Masa Soeharto ini, sistem politik tercipta dengan kestabilan yang tinggi, dengan bantuan dari kekuatan Golkar, TNI, lembaga pemikir, dan dukungan capital international. Kemudian dalam masa ini juga warga keturunan khususnya Tionghoa dilarang berekspresi, Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga Negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung menghapus hak – hak asasi mereka. Kemudian pengekangan pers pada masa ini juga membuktikan bahwa sistem politik yang dijalankan oleh Soeharto bersifat otoriter. Tujuan sistem politik pada masa orde baru adalah Dwi Darma Kabinat Ampera yaitu menciptakan stabilitas politik dan stabilitas ekonomi sebagai persyaratan untuk melaksanakan pembangunan nasional. (Ricklefs, 2008)
Program Kabinet Ampera terkenal dengan nama Catur Karya Kabinet Ampera yakni Memperbaiki kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan, Melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu yang ditetapkan, yaitu tanggal 5 Juli 1968, Melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif untuk kepentingan nasional, Melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.
Pada masa Orde Baru, Soeharto sebagai pemegang tampuk kekuasaan pada masa itu dengan menggunakan topangan superioritas lembaga eksekutif terhadap DPR dan peran dwifungsi ABRI sehingga DPR yang sebagian besar dari fraksi Golongan Karya selalu mematuhi dengan apa yang ditentukan oleh Soeharto.  Hak interpelasi (yaitu hak untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan di sesuatu bidang) tidak pernah digunakan, karena sistem pemerintahan yang otoriter dan tertutup sehingga tidak mungkin hak ini digunakan dalam sistem politik pada masa Orde Baru.
B.2. SISTEM POLITIK PADA MASA REFORMASI
Setelah runtuhnya rezim Orde Baru dan kemudian memasuki orde reformasi, pada masa ini dicirikan dengan adanya liberalisasi politik. Liberalisasi politik ini merupakan fase dimana adanya sebuah proses mengefektifkan hak-hak yang melindungi individu dan kelompok-kelompok sosial dari tindakan sewenang-wenang oleh negara. Selain itu  kebebasan pers juga telah diperbolehkan, sehingga aspirasi masyarakat dapat disalurkan melalui fasilitas pers ini. Karena pada masa orde baru sistem politiknya otoriter dan didominasi oleh kelompok-kelompok militer dan hanya sedikit saja input sistem politik yang berasal dari luar militer.
Tentu saja input sistem politik sebagian besar dari keluarga Cendana dan kroni-kroni politik yang tidak bisa dikesampingkan pada masa Orde Baru, untuk itu pada masa reformasi ini diberlakukan liberalisasi politik dimana individu-individu dan kelompok-kelompok sosial selain kelompok militer mempunyai hak-hak untuk berpolitik. Sistem politik pada masa itu menggunakan sistem terbuka dimana setiap warga negara berhak dipilih dan memilih dalam setiap pemilu diselenggarakan.
Ini ditandai dengan mulai adanya ledakan partisipasi politik dari berbagai kelompok masyarakat, sebagai perwujudan dari ledakan partisipasi politik itu para elite politik berlomba-lomba mendirikan partai politik dan klimaksnya dari pendirian partai politik adalah diselenggarakannya pemilu pada tahun 1999. Pemilu 1999 dilangsungkan pada tahun 1999 (tepatnya pada tanggal 7 Juni 1999) di bawah pemerintahan Presiden B. J. Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik. Lima besar Pemilu 1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golongan Karya, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional. Dan pemilu dimenangkan oleh Abdurrahman Wahid, dia memangku jabatan sebagai presiden selama 1 tahun 8 bulan 23 hari, lalu disusul oleh Megawati Soekarno Putri yang menggantikan posisi jabatan selama 2 tahun 20 hari. (Ricklefs, 2008)
Dari ketiga presiden ini, tak ada seorang pun yang menduduki jabatan presiden sampai penuh satu periode. Ini artinya, ketiga presiden ini turun atau diturunkan di tengah jalan. Dengan demikian, tatanan politik negeri ini masih jauh dari baik. Masa-masa yang dilalui ketiga presiden ini adalah masa-masa transisi setelah tumbangnya Orde Baru. Ketiga elemen demokrasi seperti legislatif, yudikatif, dan eksekutif masih dalam proses mencari bentuk. Artinya, dalam tempo yang demikian singkat, para presiden tersebut belum selesai menata infrastruktur birokrasinya untuk menjalankan roda pemerintahan.
Dan saat ini, lembaga legislatif Partai Demokrat menjadi pemenang dalam pemilu dengan suara terbanyak, sedangkan di eksekutif Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden sejak tahun 2004 sampai sekarang. Partai Demokrat jadi pemenang pemilu dan memiliki kursi signifikan di legislatif. Pada saat yang sama, melalui pemilihan langsung, Yudhoyono yang berpasangan dengan Boediono mendapat dukungan penuh dari rakyat hingga menjadi pemegang tampuk kekuasaan di eksekutif. Tujuan kuat partai politik ini adalah menjadikan pemerintahan yang baik atau good governance bagi keberhasilan pembangunan di berbagai aspek negara Indonesia. Kolaborasi legislatif-eksekutif ini seharusnya menjadi mesin politik yang kuat bagi Partai Demokrat untuk menjalankan pemerintahan.
B.3. KINERJA BIROKRASI MASA ORDE BARU

Birokrasi pada masa Orde Baru menciptakan strategi politik korporatisme Negara yang bertujuan untuk mendukung penetrasinya ke dalam masyarakat, sekaligus dalam rangka mengontrol publik secara penuh. Strategi politik birokrasi tersebut merupakan strategi dalam mengatur sistem perwakilan kepentingan melalui jaringan fungsional non-ideologis, dimana sistem tersebut memberikan berbagai lisensi pada kelompok fungsional dalam masyarakat, seperti monopoli atau perizinan, yang bertujuan untuk meniadakan konflik antar kelas atau antar kelompok kepentingan dalam masyarakat yang memiliki konsekuensi terhadap hilangnya pluralitas sosial, politik maupun budaya.

Pemerintahan Orde Baru mulai menggunakan birokrasi sebagai premium mobile bagi program pembangunan nasional. Birokrasi lebih berperan untuk mengurus kehidupan publik, dalam arti fungsi regulatif daripada fungsi pelayanan publiknya. Birokrasi sebagai kepanjangan tangan dari pelaksanaan regulasi pemerintah. Menjadikan birokrasi sangat tidak terbatas kuasanya dan sulit dikontrol masyarakat dan menyebabkan timbulnya Patologi Birokrasi. Seperti Korupsi Kolusi dan Nepotisme. Kultur kekuasaan yang telah terbentuk semenjak masa birokrasi kerajaan dan kolonial ternyata masih sulit untuk dilepaskan dari perilaku aparat atau pejabat birokrasi. Masih kuatnya kultur birokrasi yang menempatkan pejabat birokrasi sebagai penguasa dan masyarakat sebagai pengguna jasa sebagai pihak yang dikuasai, bukannya sebagai pengguna jasa yang seharusnya dilayani dengan baik, telah menyebabkan perilaku pejabat birokrasi menjadi bersikap acuh dan arogan terhadap masyarakat.

Dalam kondisi pelayanan yang sarat dengan nuansa kultur kekuasaan, publik menjadi pihak yang paling dirugikan. Kultur kekuasaan dalam birokrasi yang dominan membawa dampak pada terabaikannya fungsi dan kultur pelayanan birokrasi sebagai abdi masyarakat. Pada tataran tersebut sebenarnya berbagai praktik penyelewengan yang dilakukan oleh birokrasi terjadi tanpa dapat dicegah secara efektif. Penyelewengan yang dilakukan birokrasi terhadap masyarakat pengguna jasa menjadikan masyarakat sebagai objek pelayanan yang dapat dieksploitasi untuk kepentingan pribadi pejabat ataupun aparat birokrasi. Kultur kekuasaan yang telah terbentuk semenjak masa birokrasi kerajaan dan kolonial ternyata masih sulit untuk dilepaskan dari perilaku aparat atau pejabat birokrasi.
B.4. KINERJA BIROKRASI MASA REFORMASI

Dengan berakhirnya krisis 1998 dan masa Orde Baru, pemerintahan masa reformasi dimulai dengan keinginan untuk membuat kondisi birokrasi yang baik (good govermence) seperti membuat undang-undang dan lembaga-lembaga yang mengatur para birokrat melaksanakan tugas dan fungsinya secara tepat.

 Kemudian dalam masa ini dikenal 2 macam birokrasi yaitu birokrasi patrimonial dan birokrasi kapitalisme. Birokrasi patrimonial sendiri dapat diartikan sebagai perekrutan orang ke dalam birokrasi didasarkan pada kedekatan hubungan personal yang mengabaikan kualitas individu, namun lebih memprioritaskan loyalitas kepada atasan. Untuk yang kedua untuk kapitalisme, disini para birokrat secara aktif terlibat dalam aktivitas bisnis yang berkaitan dengan pelayanan public

Faktor kultural dan struktural seperti di atas berperan besar dalam mendorong terjadinya KKN di kalangan birokrasi. Kecenderungan birokrasi untuk bermain politik pada masa reformasi, tampaknya belum sepenuhnya dapat dihilangkan dari kultur birokrasi di Indonesia. Perkembangan birokrasi kontemporer memperlihatkan bahwa arogansi birokrasi sering kali masih terjadi. Masih kuatnya kultur birokrasi yang menempatkan pejabat birokrasi sebagai penguasa dan masyarakat sebagai pengguna jasa sebagai pihak yang dikuasai, bukannya sebagai pengguna jasa yang seharusnya dilayani dengan baik, telah menyebabkan perilaku pejabat birokrasi menjadi bersikap acuh dan arogan terhadap masyarakat.
Dalam kondisi pelayanan yang sarat dengan nuansa kultur kekuasaan, publik menjadi pihak yang paling dirugikan. Kultur kekuasaan dalam birokrasi yang dominan membawa dampak pada terabaikannya fungsi dan kultur pelayanan birokrasi sebagai abdi masyarakat. Pada tataran tersebut sebenarnya berbagai praktik penyelewengan yang dilakukan oleh birokrasi terjadi tanpa dapat dicegah secara efektif. Penyelewengan yang dilakukan birokrasi terhadap masyarakat pengguna jasa menjadikan masyarakat sebagai objek pelayanan yang dapat dieksploitasi untuk kepentingan pribadi pejabat ataupun aparat birokrasi.
Inefisiensi kinerja birokrasi dalam penyelengaraan kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik masih tetap terjadi pada masa reformasi walaupun sudah dapat ditekan. Birokrasi sipil termasuk salah satu sumber terjadinya inefisiensi pemerintahan. Inefisiensi kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik terlihat dari masih sering terjadinya kelambanan dan kebocoran anggaran pemerintah. Jumlah aparat birokrasi sipil yang terlampau besar merupakan salah satu faktor yang memberikan kontribusi terhadap inefisiensi pelayanan birokrasi.
Walaupun, pemerintah sedang berusaha mewujudkan good govermence dengan cara membentuk badan-badan yang dianggap perlu untuk menciptakan birokrasi yang baik, tidak terbelit-belit dan akuntabititas yang tinggi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pembuatan E-KTP, dan visi Indonesia bisa menerapkan birokrasi bersih pada 2025 sekalipun belum mampu membuat kondisi Indonesia menjadi lebih baik. Seakan-akan gaung yang di idamkan 14 tahun yang lalu pasca krisis 1998 tentang reformasi birokrasi hilang tak berbekas. Reformasi birokrasi yang diimpikan oleh masyarakat Indonesia seakan jalan ditempat. (Anonim, 2009)
B.5. PERBANDINGAN SISTEM POLITIK DAN KINERJA BIROKRASI PADA MASA ORDE BARU DAN MASA REFORMASI
Dari beberapa penjelasan diatas mengenai sistem politik dan kinerja birokrasi di Indonesia di dua masa yang berbeda, dapat disimpulkan sebagai berikut :
Tabel 1. Perbandingan Sistem politik dan kinerja birokrasi pada masa Orde Baru dan masa reformasi di Indonesia.

Masa Orde Baru
Masa Reformasi
Sistem Politik
Tertutup dan Otoriter, Sistem Patron-Client sangat kentara.
Terbuka dan Demokratis, banyak aspirasi yang muncul dari masyarakat.
Kinerja Birokrasi
Administrasi yang sangat terbelit-belit, proses administrasi yang lama, tunduk dari satu perintah (komando)
Administrasi masih terbelit-belit, proses administrasi sedikit cepat, terdapat pungutan liar dari aparatur, sudah adanya tata tertib yang mengatur birokrat.
Transparansi
Sangat buruk, karena badan pengawas tunduk kepada Presiden.
Lebih baik, karena dibuat lembaga yang khusus untuk mengawasi badan transparansi.
Akuntabilitas
Sangat buruk, karena tanggungjawab langsung dengan Presiden, tanpa tanggungjawab kepada masyarakat.
Lebih baik, karena tidak hanya bertanggungjawab kepada presiden saja, tetapi tanggungjawab kepada masyarakat melalui media massa.
Efisiensi Kinerja
Inefisien terlihat dengan jelas, dan belum mampu untuk ditekan, karena partisipasi publik sama sekali belum ada, atau bisa dibilang keotoriteran soeharto menutup akses bagi masyarakat untuk berpartisipasi
Kinerja belum terlalu efisien namun sedikit demi sedikit mampu ditekan, karena partisipasi publik sudah mulai terlihat, tetapi kelambanan dan kebocoran dalam anggaran pemerintah masih ada
Partisipasi Publik
Tidak ada, karena keharusan seseorang untuk mengikuti partai dari presiden yang berkuasa, selain itu pemaksaan terhadap masyarakat untuk memilih partai tertentu menyebabkan kebebasan berpartisipasi menjadi pudar.
Ada, terbukti dengan mulai banyaknya parpol, serta sudah tidak ada pengekangan yang mengharuskan masyakarat untuk memilih partai tersebut.

BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
 Sistem politik orde baru bisa dibilang tertutup, karena sebagian besar diisi oleh fraksi ABRI, kemudian pengekangan pers menjadi bukti sahih bahwa pada masa orde baru benar-benar mengikuti satu perintah (otoriter).
Kinerja Birokrasi orde baru tidak berjalan dengan baik, dibuktikan dengan proses administrasi yang terbelit – belit dan terlampau lama, kemudian dari sisi transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan partisipasi publik juga dapat dikatakan masih buruk, karena pada masa ini semua tertuju pada presiden tanpa ada pertanggung jawaban kepada masyarakat.
Sistem politik era reformasi seperti yang sudah dicantumkan di atas sudah mulai terbuka dan demokratis, peralihan kekuasaan dari Soeharto ke Habibie menghapuskan kekuasaan keotoriteran. Aspirasi mulai bermunculan dari masyarakat, kemudian pertanggung jawaban kepada masyarakat disampaikan melalui media massa, yang memungkinkan masyarakat untuk bisa menyampaikan kritikan terhadap kinerja pemerintah.
Kinerja Birokrasi era reformasi berjalan secara lebih baik dan demokratis, meskipun proses administrasi masih terbelit – belit namun memakan waktu yang lebih cepat dari sebelumnya, selain itu dari sisi transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan partisipasi publik sudah lebih berkembang, namun pengecualian untuk efisiensi karena masih belum dikatakan baik, terbukti masih adanya kebocoran dan kelambanan dalam anggaran pemerintah.          
Jadi dapat disimpulkan kinerja birokrasi pada masa reformasi tidak jauh berbeda jika dibandingkan dengan kinerja birokrasi pada masa orde baru, namun sudah lebih baik, dilihat dari perkembangan yang didapatkan perbaikan kinerja birokrasi dari masa orde baru,  namun masih adanya kecenderungan dari aparat yang kebetulan memperoleh kedudukan atau jabatan strategis dalam birokrasi, terdorong untuk bermain dalam kekuasaan dengan melakukan tindakan KKN, serta masih kautnya kultur birokrasi yang menempatkan pejabat birokrasi sebagai penguasa dan masyarakat sebagai pengguna jasa sebagai pihak yang dikuasai, bukannya sebagai pengguna jasa yang seharusnya dilayani dengan baik. Jika dilihat secara umum kinerja birokrasi bisa berdampak baik dan buruk, namun jika ingin memaksimalkan dampak baik, alangkah baiknya jika apa yang disebut budaya patron client itu bisa dihapuskan karena kita semua harus bermain sacara bersih, semua orang memiliki persamaan ideologi atau tujuan saja. Kita juga harus melihat apakah orang tersebut benar-benar memiliki suatu skill yang dibutuhkan untuk bekerja dibidang pemerintahan.
B.     SARAN
Jika membahas lebih lebih jauh tentang bagaimana solusi yang mestinya benar-benar diterapakan di dalam birokrasi Indonesia, mungkin dapat dikatakan seperti demikian, namun tidak tertutup kemungkinan ada solusi lain yang lebih kompleks, selain itukan ada terus perkembngan pemikiran seperti misalnya :
1)                  Adanya keinginan perlu tumbuhnya kesadaran baru dikalangan PNS dan pejabat struktural maupun fungsional bahwa rakyat banyak yang diwakili di legislatif lah yang berkuasa, sedangkan pemerintah dan birokrasi hanya pelaksana.
2)                  Birokrasi perlu transparan dalam kegiatan-kegiatanya dalam membuat ketentuan-ketentuan teknis harus terbuka dan mengikutsertakan wakil-wakil kelompok kepentingan dalam masyarakat.
3)                  Pejabat birokrasi perlu “merakyat”, maupun turun ke lapangan ke bidang tanggung jawabnya.
Beberapa pemikiran diatas setidaknya bisa dijadikan sebagai suatu tolok ukur bagaimana nantinya birokrasi dapat berjalan dengan lancar, tidak seperti masa-masa sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim (2009). Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik. Jakarta: Kementrian Komunikasi dan Informatika RI.
Gaffar, Afan (2005). Politik Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
http://id.wikipedia.org/wiki/Birokrasi diakses Minggu, 27 Mei 2012 12:50:23
Ricklefs, M. C. (2008), Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

Posting Lebih Baru

One Response to “PERBANDINGAN KINERJA BIROKRASI INDONESIA PADA MASA ORDE BARU DENGAN MASA REFORMASI”

Diberdayakan oleh Blogger.